Tidak Ada Istilah “Habis Manis Sepah Dibuang†(Bagian I)
Inovasi atau Mati. Judul sebuah buku karangan ahli manajemen Gede Prama ini, tampaknya cocok untuk diterapkan pada industri gula di tanah air. Setelah melalui masa kejayaannya di “zaman baheula”, dunia pergulaan Indonesia terus merosot. Produksi gula nasional pelan tapi pasti menukik nyaris tanpa rem. Bersamaan dengan itu gula impor tak habis habisnya mengguyur pasar lokal. Gula impor yang masuk tidak hanya menutupi lubang akibat kekurangan pasok, melainkan telah menghantam industri gula nasional.
Jika dibiarkan tanpa ada upaya yang intensif dengan melihat kondisi seperti ini di masa - masa mendatang akan menjadi semakin parah. Konsumsi gula setiap tahunnya terus meningkat. Sesuatu yang bertolak belakang dengan keadaan di sektor produksi. Fakta membuktikan konsumsi gula nasional setiap tahun tumbuh antar 5 - 6 persen.
Berdasarkan data konsumsi gula tahun 2007 mencapai 3,7 juta ton pertahun. Tapi sekarang enam tahun kemudian tingkat konsumsi itu melewati angka 4,5 juta ton pertahun. Hal ini jelas berbahaya. Apalagi beberapa pakar pergulaan memperkirakan kebutuhan itu akan terus meningkat, sehingga pada tahun 2015 kebutuhan pemanis ini akan melonjak ke angka 10 juta ton. Jadi dapat dibayangkan akibatnya jika produksi gula nasional tetap berkisar di angka 4,5 juta ton dan besaran impor akan meloncar menjadi 6,5 juta ton per tahun.
Tanpa inovasi berarti bunuh diri. Dan yang namanya inovasi hanya akan bisa muncul dari kepala-kepala yang kreatif. Bruner, dalam “Toward a Theory of Instruction” , mendefinisikan kreativitas sebagai kejutan yang efektif. Hasil dari kreatifitas ini bisa berupa barang atau gagasan yang mengejutkan. Dikatakan demikian karena ini merupakan hal baru yang terbukti mendatangkan manfaat.
Revitalisasi dan memodernisasi pabrik gula perlu dilakukan untuk saat ini. Pada dasarnya, tidak ada yang banyak berubah dalam alur kerja di pabrik gula. Sejak dulu proses pembuatan gula diawali dari digilingnya tebu. kemudian hasil penggilingan itu dipisahkan antara nira dan ampasnya (bagasse). Nira mentah itu selanjutnya, secara bertahap dimurnikan dari kotoran terlarutnya. Pengaturan pH dan pemberian susu kapur dimaksudkan untuk membantu pengedapan suspensi.
Selanjutnya proses sulfitasi bertujuan untuk pemucatan. Adapun proses klarifikasi dengan bantuan bahan kimia pengendap (coagulant) adalah untuk mengendapkan makro molekul terlarut. Nira jernih selanjutnya dikirim ke evaporator untuk dikurangi kandungan airnya. Nira pekat selanjutnya dikristalkan di dalam unit kristaliser. Hasil dari unit kristaliser diputar sehingga gula dapat dihasilkan.
Namun, ceritanya menjadi lain ketika di lapangan ditemui berbagai fakta yang menyatakan bahwa masalah yang dihadapi pabrik – pabrik gula itu tadi. Usia pabrik yang kebanyakan sudah lanjut adalah masalah utama. Manajemen pabrik gula juga masih banyak yang menganut pola lama, feodalistik, sehingga output produksi menjadi tidak optimal.
Untuk mengatasi masalah itu, perlu dilakukan perbaikan manajemen di industri gula. Penerapan manajemen audit atas tiap – tiap pabrik dan bagiannya. Transparansi dan keterbukaan juga menjadi perhatian. Dengan begitu seluruh bagian dalam pabrik gula dapat bekerja dengan profesional dan menghasilkan output yang baik.
Dibutuhkan pula pengaturan soal efisiensi pengolahan gula. Pengoptimalan kapasitas giling menjadi penting. Jika mesin sanggup menggiling tebu hingga 3000 atau 5000 ton perhari, kebutuhan tebu untuk masa penggilingan itu harus dipastikan tersedia. Pihak manajemen juga harus sigap jika ada kerusakan alat sehingga jam berhenti giling dapat ditekan seminimal mungkin. (Dany Pratama Putra_PG DB, OPI_Sekper)
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar