Terlambatkah Kemandirian Energi Nasional ?

Terbit pada Selasa, 19 April 2016

SURABAYA – Pemenuhan kemandirian energi nasional saat ini menjadi tantangan dalam jangka waktu dekat. Ini disebabkan kebutuhan energi nasional, terutama minyak yang masih dipenuhi impor. Terhitung sejak tahun 2004, Indonesia menjadi importir minyak bersih. Sedangkan, diperkirakan cadangan minyak tinggal 11 tahun lagi sehingga upaya menuju kemandirian energi harus segera diimplementasikan.

Desakan ini dikemukakan dalam Seminar bertajuk “Meet the Technocrats : Kemandirian Energi Indonesia dengan Bahan Bakar Nabati” yang berlangsung di Ruang Seminar Perpustakaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, 16 April 2016 lalu. Direktur Utama PT. Energi Agro Nusantara (Enero), Misbahul Huda yang menjadi salah satu keynote speaker dalam seminar tersebut, menekankan bahwa pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) dan kemandirian energi nasional  tidak bisa ditawar lagi.

“Sudah jelas, Indonesia saat ini defisit pada neraca perdagangan energi, terutama sektor minyak. Impor minyak akan menghabiskan cadangan devisa dan menurunkan ketahanan energi nasional sehingga pengembangan BBN sebagai pengganti minyak menjadi langkah strategis bagi Ketahanan Energi Indonesia,” ujar Huda.

Upaya pengembangan BBN sudah maksimal dilakukan oleh para stakeholder. Namun disayangkan, sampai saat ini masih terganjal implementasi. Hal ini diungkapkan Misbahul Huda dalam seminar yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Industri ITS ini.

“Sudah ada kesadaran pemerintah akan pentingnya BBN, terutama bioetanol sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sudah ada regulasi yang lengkap, mulai UU, PP, Permen sampai Kepmen. Sudah ada patokan Harga Indeks Pasar (HIP), penelitian dari akademisi tentang pemakaian bioetanol. Sudah tersedia bioetanol produksi lokal (PT Enero) dengan kapasitas dan kualitas yang memadai, tetapi kenyataannya implementasi jauh dari harapan,” ungkapnya.

Dalam penjelasannya, Huda juga menuturkan, “Yang diperlukan saat ini hanya konsistensi pemihakan pemerintah, dalam hal ini Pertamina untuk implementasi dan eksekusi regulasi yang ada. Perlambatan ekonomi dan pelemahan rupiah mestinya menjadi momentum yang tepat untuk implementasi bioetanol yang diharapkan bisa menghemat cadangan devisa dan menggerakkan industri (etanol) serta pendukungnya.”

Penjelasan ini disepakati oleh pembicara lainnya, Dr. Ali Musyafa, MSc selaku Koordinator Pusat Studi Energi ITS. Di saat kondisi energi yang tidak menentu, seharusnya menjadi peluang emas bagi pemerintah untuk menggenjot upaya penggunaan BBN.

“Momentum harga minyak yang turun, nilai tukar Rupiah dengan Dollar yang naik, seharusnya ini menjadi momentum yang tepat dalam implementasi BBN sehingga pada saat harga minyak dunia kembali naik, Indonesia tidak akan panik,” tutur Ali.

Di lain sisi, upaya kemandirian energi perlu dorongan dari seluruh pihak. Hal ini diungkapkan pembicara lainnya, yakni Kepala Laboratorium Teknik Pembakaran dan Bahan Bakar, Teknik Mesin ITS, Dr. Bambang Sudarmanta.

“Diperlukan peran serta pemerintah dalam upaya mendukung riset-riset energi. Upaya kemandirian energi nasional tidak dapat berjalan masing-masing, tetapi harus ada kolaborasi antara pihak akademisi, industry, dan masyarakat,” jelas Bambang.

Menutup serangkaian seminar yang diisi oleh presentasi dan diskusi ini, pertanyaan yang muncul dalam benak, terlambatkah kemandirian energi nasional ? Hanya komitmen dan pemihakan pemerintah yang dapat menjawabnya. Tanpanya, kemandirian energi nasional hanyalah wacana belaka. (AR_Enero, VER_Sekper)

Posted in Berita

Terdapat 0 komentar

Silahkan tambahkan komentar