Siasat Industri Gula di Tengah Rimbun Tantangan (Bagian II)

Terbit pada Kamis, 26 Juni 2014

Kompleksitas

Permasalahan makin kompleks kerena ternyata harga gula tahun ini melorot. Harga lelang tahun lalu yang bisa tembus di atas Rp 11.000 per kilogram, tahun ini hanya bertengger sekitar Rp 8.500 per kilogram. Di sisi lain, saat harga gula melemah, biaya produksi meningkat karena imbas hujan yang berkepanjangan. Sejumlah komponen seperti biaya tebang dan angkut melonjak karena para tenaga kerja meminta tambahan biaya seiring beratnya medan.

Kondisi kurang menggembirakan ini hampir bisa dipastikan akan memukul psikologi petani tebu. Minat budaidaya tebu dikhawatirkan akan makin menurun. Iming-iming konversi lahan, menjadi komoditas properti misalnya, yang menjanjikan imbal hasil investasi lebih tinggi makin membuat upaya menjaga lahan semakin berat. Disisi lain upaya ekspansi lahan juga bukan sesuatu yang mudah dilakukan.

Selain soal minat bertanam tebu, semangat petani untuk merawat kebunnya juga harus dibangkitkan lagi. Semangat dan orientasi pada kualitas budidaya mesti dipupuk dan terus ditumbuhkan dengan kerja bareng petani dan pabrik gula. Secara psikologis, kondisi 2013 yang serba-sulit ini telah memukul semangat petani. Kita bisa berkaca dari pengalaman setahun setelah anomali iklim 1998 dan 2010. Pada 1999, produktivitas lahan terjun bebas menjadi 62 ton tebu per hektar dari tahun sebelumnya di kisaran 71 ton tebu per hektar. Pada 2011, produktivitas juga turun menjadi 67 ton tebu per hektar dari tahun sebelumnya 81 ton per hektar. Tentu kita patut khawatir, jika ini terus terjadi, asa swasembada gula tentu makin jauh dari genggaman.

 

Langkah Tersendat Di Pabrik Gula

Nah, bagaimana kondisi sektor off farm? Tentu saja langkah di sisi hulu secara otomatis berdampak pada kinerja sektor hilir. Tentu dalam hal ini, masalah tidak hanya anomali iklim. Sedah menjadi rahasia umum, kendala permesinan tua yang telah menjadi alasan klasik di industri yang kita geluti bersama ini. Pembenahan yang dilakukan di hampir semua PG adalah secara bergantian antar-stasiun. Permesinan di satu stasiun dibenahi tuntas, kita beralih ke stasiun berikutnya. Kondisi ini membuat PG sangat susah untuk menggapai kinerja terbaiknya (peak performance) karena berpindah pula titik hambatannya (bottleneck).

Teknologi manual juga membuat PG bekerja dalam tekanan ekonomi biaya tinggi (high cost economy) karena harus menggunakan banyak tenaga kerja dan membutuhkan biaya perawatan yang mahal. Hal itu turut serta mengerek biaya operasional, membuat PG kurang efisien, dan muaranya adalah profitabilitas tak bisa direngkuh dalam level yang optimal. Padahal, dari profitabilitas itu – yang dipadu dengan sumber pembiayaan lain – kita bisa melakukan ekspansi, baik ekspasi di sisi hulu (penambahan lahan, riset varietas unggul, pendekatan mekanik dan teknologi dalam berbudidaya) maupun di sisi hilir (upgrade permesinan, peningkatan higienitas gula, dan sebagainya). (M. Cholidi_Sekper)

 

Sumber: Majalah Sugar Insight Edisi Mei 2014 halaman 7-8

Terdapat 18 komentar

Silahkan tambahkan komentar