Siasat Industri Gula di Tengah Rimbun Tantangan (Bagian I)

Terbit pada Kamis, 26 Juni 2014

Tantangan anomali iklim benar-benar membuat kita kesulitan tahun lalu. Kita mencermati siklus anomali semakin memendek, yaitu menjadi tiga tahunan. Sebelum tahun ini, tiga warsa silam, 2010, anomali iklim juga telah memukul industri berbasis tebu nasional. Siklus ini memendek karena sebelumnya musim hujan yang berkepanjangan terjadi pada 1998, baru terulang pada 2010 alias 12 tahun kemudian. Meski bisa dideteksi dengan pendekatan teknologi, perubahan iklim nyatanya susah diprediksi. BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) sudah beberapa kali merevisi prediksi iklim.

 

Saya masih ingat betul, pada 1998, rendemen jeblok, bahkan hingga kisaran 5 persen. Produksi gula terjun bebas menjadi sekitar 2,2 juta ton – meski tentu faktor iklim bukan satu-satunya penyebab. Produktivitas gula per hektar ketika itu hanya sekitar 4 ton.

 

Tiga tahun silam, saya juga masih ingat betul, hingga bulan Juli 2010, hujan masih terus turun sehingga mempengaruhi keragaan tebu tahun itu. Secara otomatis, hujan akan memelorotkan rendemen (kadar gula dalam tebu) karena proses pembentukan gula di batang tebu menjadi terhambat. Walhasil, produksi gula surut hingga kisaran 2,21 juta ton, turun dari tahun 2009 sebesar 2,62 juta ton. Otomatis pula tingkat produktivitas gula per hektar merosot: dari 6,20 ton (2009) menjadi 5,29 ton (2010).

 

Tahun 2013 rendemen tebu di hampir semua wilayah mengalami penurunan. Di lingkungan PTPN X, misalnya, tingkat rendemen diprediksi turun ke kisaran 7,2 persen, turun dibanding tahun lalu yang sebesar 8,14 persen. Penurunan serupa, bahkan dalam tingkat yang lebih dalam, juga dialami oleh perusahaan pergulaan lainnya. Dalam hal ini, tingakat rendemen PTPN X relatif lebih bagus dibanding perusahaan pergulaan lainnya.

 

Yang sangat mengkhawatirkan, tidak hanya memukul kinerja tahun berjalan, dampak anomali iklim ini diprediksi bakal mempengaruhi keragaan tebu pada tahun berikutnya alias tahun 2014. Pada 1999 misalnya, produksi gula juga masih stagnan di level 1,5 juta ton. Kita juga bisa melihat pengalaman pasca-anomali iklim 2010 dimana pada 2011 stagnan alias tak banyak bergeser dari realisasi produksi 2010.

 

Tahun ini bakal dibayangi “sisa-sisa” permasalahan 2013, yang antara lain berdampak pada pelaksanaan tebangan yang tidak sempurna. Kalau tahun lalu musim kemaraunya basah maka tahun ini diprediksi musim hujannya kering. Dikhawatirkan kebun yang ditebang paling akhir tidak dapat tumbuh optimal karena tergenang air. Kualitas bahan baku tebu (BBT) bisa menurun karena sejumlah permasalahan teknis budidaya seperti diameter yang mengecil hingga sogolan yang berkecambah. Masa “pemulihan” tebu untuk kembali “normal dan prima” belum memadai. Kemarau yang diharapkan bisa sedikit lebih lama ternyata tak terwujud. Hujan sudah mengguyur mulai Oktober. Pemulihan tebu yang habis “dihajar” anomali iklim masih akan terus menderita.

 

Namun, perlu pula dipahami bahwa masalah di sektor hulu ini bukan semata-mata karena iklim. Sejumlah variable lain juga ikut menyumbang permasalahan ini, seperti minimnya pelaksanaan mekanisme, tanaman keprasan yang melampaui batas maksimal dan minimnya penggunaan varietas unggul. (M. Cholidi_Sekper)

 

Sumber: Majalah Sugar Insight Edisi Mei 2014 halaman 6-7

 

Terdapat 0 komentar

Silahkan tambahkan komentar