Prinsip Berkelanjutan dalam Revitalisasi Industri Gula
Industri gula adalah salah satu pilar kedaulatan pangan nasional. Namun, kisah industri ini tak selalu manis. Pernah mengalami masa-masa kejayaan saat kolonialisme Belanda dengan menjadi eksportir besar dunia, saat ini industri gula masih berupaya bangkit menuju swasembada.
Bayang-bayang susahnya menggapai swasembada memang terus mengiringi. Apalagi, kebetulan gula pasti terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk. Padahal, di sisi lain, produksi gula relatif stagnan.
Adalah sebuah pekerjaan berat untuk memenuhi laju konsumsi nasional, sedangkan di sisi lain peningkatan produksi gula menghadapi tantangan yang tak ringan, baik di sisi budidaya (on farm) maupun pengelolahan (off farm). Revitalisasi menjadi hal pokok yang mesti digarap dan dituntaskan.
Namun, revitalisasi jangan hanya dikerangkai sebagai belanja alat baru. Revitalisasi perlu dimaknai sebagai paradigma baru dalam memandang masa depan industri.
Model revitalisasi industri gula ke depan tidak boleh hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas gula semata, melainkan harus bersandar pada konsep keberlanjutan (sustainability).
Keberlanjutan yang dimaksud adalah upaya mengoptimalkan semua potensi industri tebu untuk peningkatan daya saing. Keberlanjutan bermuara pada perlunya menggarap diversifikasi non-gula secara serius.
Mengapa perlu konsep keberlanjutan? Mari kita lihat fakta bahwa harga gula terlalu berfluktuatif dan jujur saja tidak bisa menopang ekspansi pabrik gula untuk menambah mesin atau melakukan perluasan lahan. Dalam konteks inilah, produk non-gula bisa menjadi penopang, bahkan penggerak utama industri tebu.
Harga Fluktuatif
Selama lima tahun terakhir mulai 2009-2013, biaya pokok produksi (BPP) gula petani meningkat sekitar 58% dari Rp 5.100 per kilogram menjadi Rp 8.070 per kg. Namun, harga lelang gula dari 2009 ke 2013 cuma naik 22,88% dari Rp 7.056 per kg menjadi Rp 8.671 per kg. Bahkan, tahun ini lebih rendah lagi ke level di bawah Rp 8.500 per kg. Hal ini pula yang memicu gejolak petani sepanjang musim giling 2014.
Masalah rendahnya gula memang kompleks, mulai dari kebijakan tata niaga sampai penyimpanan (moral hazard), tapi intinya kita tahu bahwa gula tak bisa lagi jadi sandaran utama keberlangsungan pabrik-pabrik yang ada.
Tak hanya di Indonesia, di berbagai negara, BPP gula terus meningkat. Di negara-negara produsen utama gula, biaya produksi naik dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir.di Brasil, misalnya, dikutip dari sugar review, harga raw sugar US$418.87 per ton baru menutup biaya oprasional, tapi belum termasuk bunga kredit, perpajakan, dan penyusutan. Belum lagi negara di luar Brasil yang jelas-jelas biaya produksinya belum bisa seefisien Brasil.
Di tengah kenaikan biaya produksi itu, harga gula dunia relatif stagnan, bahkan mengalami penurunan. Harga gula dunia 2013 tercatat sebagai yang terendah dalam empat tahun terakhir, yaitu US$ 489,80 per ton (harga FOB di negara asal, belum termasuk ongkos pengapalan dan sebagainya). Pada 2014 harga gula dunia belum juga beranjak naik, masih berkisar US$ 470 per ton.
Bagi negara-negara importir murni (tidak memproduksi gula sama sekali), rendahnya harga gula dunia tentu menguntungkan. Begitu pula untuk negara produsen yang juga melakukan impor skala kecil, harga gula dunia yang rendah cukup menguntungkan.
Namun, bagi negara produsen dan sekaligus importir gula besar seperti Indonesia, turunnya harga gula dunia sangat meresahkan. Pasalnya, gula impor yang masuk dengan harga rendah kedepannya bisa sangat memukul industri gula dalam negeri yang digerakkan oleh para petani tebu rakyat. Belum lagi saat ini banyak rembesan gula rafinasi yang ikut memukul harga gula petani.
Diversifikasi
Yang membedakan Indonesia dengan negara produsen lain adalah kesiapan melakukan diversifikasi. Saat harga gula dunia rendah, industri gula di Brasil, Thailand, atau India bisa tetap stabil dan terus tumbuh karena mengandalkan pendapatan dari diversifikasi usaha non-gula, mulai dari listrik (berbasis ampas tebu) sampai bioetanol (berbasis tetes tebu).
Di Brasil, pabrik gula (PG) yang ada bisa menghasilkan listrik lebih dari 3.000 megawatt. Setelah dikurangi untuk operasional pabrik, listrik yang dijual mencapai 506 MW. Sekitar 20% kebutuhan energi Brasil ditopang energi baru terbarukan berbasis tebu, terutama bioetanol.
Di PG-PG India, produksi listrik 2.200 MW, dengan daya yang dikomersilkan 1.400 MW. Hampir semua PG di Thailand sudah menghasilkan listrik yang dikomersialkan. Di dunia terdapat lebih dari 1.500 industri koproduk tebu yang menghasilkan 50 macam produk, mulai dari bioetanol, pakan ternak, alkohol, anzim amilase, hingga particle board.
Di Indonesia, memang ada industri turunan tebu non-gula, tapi mayoritas dimiliki oleh perusahaan yang sama sekali tak bergerak di bisnis pengolahan tebu. PG hanya menjual produk samping tebu seperti tetes (molasses) ke pabrik pengolahannya. PG sama sekali tidak mendapat nilai tambah. Tercatat baru ada satu pabrik bioetanol yang terintegrasi dengan PG milik BUMN, padahal kita punya 51 PG pelat merah.
Dengan lahan tebu nasional sekitar 470.000 hektar dan 35 juta ton produksi tebu, potensi bisnis dari disversifikasi yang bisa diperolah setidaknya adalah surplus power sebesar 3,5-3,8 juta MWh (3.800 GWh), bioetanol 460.000 KL, dan biokompos 1,5 juta ton.
Inilah saatnya memulai tapak penting industrialisasi produk turunan tebu non-gula. Apalagi, pemerintahan baru terlihat cukup concern menyuarakan penggunaan energi baru terbarukan, yang antara lain bisa diandalkan dari tebu.
Dalam paradigma diversifikasi inilah, seharusnya revitalisasi digerakkan demi tercapainya peningkatan daya saing untuk menghadapi persaingan global. Revitalisasi berbasis diversifikasi juga mencerminkan pembenahan menyeluruh dari on farm ke off farm karena diversifikasi menuntut budidaya tebu yang baik dan pengolahan pabrik yang efisien. (Subiyono, Ketua Umum Ikatan Ahli Gula Indonesia)
Sumber: Bisnis Indonesia, Rubrik Opini: halaman 2, Rabu 1 Oktober 2014
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar