Menempatkan Peran Kartini Masa Kini
21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Tidak hanya diperingati oleh ibu-ibu atau perempuan tapi juga kaum laki-laki. Dari perlombaan layaknya acara peringatan hari kemerdekaan, hingga workshop atau seminar-seminar yang membahas tentang problematika keperempuanan. Dari instansi-instansi pemerintah sampai sekolah-sekolah di tingkat play group. Namun, sudahkah kita mengetahui makna dari Hari Kartini itu sendiri?
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun). Tanggal 2 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini (Haxims, 2013).
Hari Kartini adalah sebagai penghormatan atas wujud perjuangan kaum perempuan, simbol persamaan gender, emansipasi wanita. Kartini adalah pahlawan, bukan dengan tindakan kekerasan, tapi tetap lantang memperjuangkan kebenaran yang dipercayainya. Di masa milenium saat ini perempuan tidak lagi harus berjuang untuk mendapatkan persamaan gender seperti di zaman ibu Kartini. Di semua lini profesi sudah ada peran perempuan didalamnya, dari seorang kepala negara sampai kondektur bus yang dahulu merupakan profesi yang diidentikkan dengan pekerjaan seorang laki-laki. Hampir sudah tidak ada lagi perbedaan peranan dalam pekerjaan, pendidikan maupun strata sosial antara perempuan dan laki-laki.
Akhir-akhir ini media massa baik cetak maupun elektronik banyak memberitakan tentang kasus korupsi yang melibatkan para perempuan yang terjun ke politik atau dekat dengan kekuasaan politik. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kaum perempuan saat ini?
Bicara korupsi tidak bisa lepas dari kekuasaan. Power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely, kata Lord Acton. Kekuasaan adalah salah satu godaan yang sulit ditaklukkan. Siapa pun yang diberi kekuasaan, pasti tergoda untuk memanfaatkannya untuk keuntungan diri dan orang-orang terdekatnya. Kuasa akan melahirkan godaan untuk menyalahgunakannya, apalagi kalau itu kekuasaan yang mutlak jelas akan diselewengkan (Yuliani, 2013). Berbicara tentang korupsi juga berbicara tentang keserakahan yang merupakan sifat dasar manusia tidak hanya laki-laki, tetapi juga dimiliki oleh seorang perempuan. Itu berarti siapapun orangnya, statusnya, gendernya jika tidak memiliki keimanan yang teguh bisa tergelincir dalam kenikmatan sesaat korupsi.
Perempuan sejatinya merupakan pemegang peranan penting dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Guru pertama yang menananamkan nilai-nilai kebajikan, pembentukan karakter bagi generasi penerus bangsa. Dengan menyadari betapa besarnya peranan perempuan tersebutlah ibu kartini pada saat itu memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Bukan untuk mendapatkan kesetaraan gender kemudian menghilangkan sifat feminitas perempuan yaitu naluri sebagai ibu yang suka memelihara dan melindungi.
Seperti filosofi pakaian tradisional perempuan Jawa yaitu kebaya. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhanaan, kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk perempuan yang lembut. Sedangkan jarit yang dipasangkan dengan kebaya, membebat tubuh merupakan simbol dari seorang perempuan yang memiliki prilaku yang hati-hati, mampu menyesuaikan diri serta menjaga diri. Stagen yang berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya tak ubah seperti kain panjang bermakna perempuan harus sabar. Dari filosofi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan yang digambarkan dengan makhluk yang sederhana, lembut, taat, hati-hati, mampu menyesuaikan dan menjaga diri serta sabar bisa menjadi motor penggerak penegakan kebenaran tidak dengan kekerasan namun tetap radikal seperti yang dicita-citakan Ibu Kartini. Sehingga, peringatan Hari Kartini harusnya merupakan momentum yang bisa membuat rasa nasionalisme bertumbuh, penyegar semangat untuk membangun bangsa dan tidak menyerah dengan keadaan. (Evi Kusumaningrum_Divisi QC & PL, OPI_Sekper)
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar