Mandat Harga Pangan
Harga pangan merupakan persoalan klasik yang tak pernah terselesaikan. Persoalan itu tak hanya menyangkut permintaan dan penawaran, tetapi juga rantai pasok, spekulasi harga, dan penguasaan pangan.
Harga pangan juga menjadi penentu tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi harga pangan, semakin tinggi pula pendapatan masyarakat yang tergerus. Harga pangan juga menjadi salah satu penentu naik atau turunnya garis kemiskinan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia herkurang 580.000 jiwa menjadi 28 juta jiwa pada Maret 2016 dibandingkan dengan Maret 2015. Walaupun jumlah penduduk miskin berkurang, garis kemiskinan Maret 2015-Maret 2016 naik 7,14 persen dari Rp 330.776 per kapita per hulan pada Maret 2015 menjadi Rp 354.386 per kapita per hulan pada Maret 2016.
Makanan menjadi penyumbang terbesar peningkatan garis kemiskinan itu, terutama di pedesaan. Padahal, desa merupakan daerah penghasil bahan pangan pokok. Di pedesaan. kontribusi komoditas beras terhadap garis kemiskinan sebesar 29,54 persen. telur ayam ras 3,02 persen, gula pasir 2,99 persen, dan bawang merah 2,26 persen.
Kenaikan garis kemiskinan terjadi karena ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan harga pangan yang naik sejak tahun lalu. Harga beras medium yang semula idealnya Hp 8.500 per kilogram kini bertahan di Hp 10.500 per kilogram. Gula pasir yang semula Hp 10.000 per kilogram meroket menjadi Hp 16.000 per kilogram.
Kemiskinan bukan sekadar jumlah penduduk, melainkan juga kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan penduduk miskin di desa justru turun. Hal itu karena indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan di pedesaan dalam satu tahun ini meningkat.
Indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran setiap penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan.
Adapun indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi pula ketimpangan pengeluaran penduduk miskin.
BPS mencatat, indeks kedalaman kemiskinan pedesaan pada Maret 2015 sebesar 2,55 dan pada Maret 2016 naik menjadi 2,74. Indeks keparahan kemiskinan pedesaan pada periode yang sama juga meningkat dari 0,71 menjadi 0,79.
Bank Dunia melansir angka rasio gini Indonesia pada 2016 sebesar 0,45. Indeks itu meningkat dari 0,42 pada 2015. Sebenarnya indeks ketimpangan pengeluaran meningkat sejak 2013, yang pada waktu itu berada di 0,39, dan pada 2014 sebesar 0,41.
Agaknya ini yang menjadi salah satu keresahan Presiden Joko Widodo. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang baru-baru ini menggantikan Thomas Lembong menyebut mendapat mandat dari Presiden.
Seusai pelantikan, Enggartiasto menyebutkan bahwa dirinya diminta Presiden untuk menstabilkan harga pangan. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansinya, Enggartiasto juga diminta mengurangi kesenjangan antar wilayah dan antar penduduk kaya-miskin.
Sejumlah strategi akan digunakan Enggartiasto, termasuk komitmen bekerja sama dengan kementerian terkait. Beberapa strategi tersebut adalah berdialog dengan pelaku usaha terkait, mengefisienkan rantai pasok pangan, perbaikan data stok pangan, memperkuat peran pasar rakyat, dan tumt mendukung penguatan Perum Bulog.
Langkah-langkah itu memang masih terdengar klasik. Kendati begitu, cara setiap orang menjalankan visi dan misi tersebut berbeda. Kita tunggu sepak terjang Kementerian Perdagangan dalam merealisasikan mandat Presiden untuk menjaga stabilitas harga pangan. (HENDRIYO WIDI).
sumber : Kompas 2 Agustus 2016
Terdapat 0 komentar
Silahkan tambahkan komentar